widgets
Untuk lebih Detil Klik >> Penawaran Produk dan Jasa

Menjadi Indonesia Kembali di Banda Naira


Menjadi Indonesia Kembali di Banda Naira

Ada ketenangan yang mengusik dada sesaat kaki melangkah masuk sebuah bangunan di pertigaan Jalan Hatta. Rumah itu sunyi, sesunyi sore yang berkawan langit mendung Banda Naira di pertengahan April 2011. Tapi kuduk yang meremang malah sebaliknya merekonstruksi bisingnya bocah-bocah berteriak dan berlarian menunggu saat belajar tiba.
Langkah sepatu menggerus lantai terakota tiba-tiba memecah suasana. Tak ada lagi berisik, tak ada lagi kegaduhan. Senyap menyergap. Sang guru tiba. Saatnya belajar. Di sana, di teras pojok rumah, di mana meja-kursi dan papan tulis tersusun rapi, tak satu senti pun melenceng dan tak sedikitpun debu menodai. Persis seperti yang empunya rumah ingini. Simphu, seorang warga senior Banda Naira menceritakannya dengan mata berkaca-kaca. Walau tak lama, ia sempat duduk di salah satu kursi-kursi tadi. Tak pernah bosan ia mendengarkan Bung Hatta, sang guru berkacamata, mendongeng kisah menggugah, menanamkan cita-cita pendiri bangsa: negara kesatuan yang tumbuh dari dan atas keberagaman.
Tapi matanya berubah sayu saat sadar konsep negeri pluralis ini makin sirna, lenyap sama cepat dengan sisa usianya. “Anak sekarang kurang ajar,” mata sayunya menusuk, tak membiarkan pandangan saya kabur dari coklat keruh retinanya. “Mana dulu saya berani sebut nama (ketika) panggil orang tua,” lanjutnya. “Dulu saya bangga jadi orang Indonesia. Tapi sekarang saya dianggap bukan orang Indonesia karena mata saya sipit.”
Pernah, seorang remaja belasan tahun datang mencari alat pancing di toko kelontongnya di kawasan Kota Cina. Karena tangannya sedang sibuk, ia tak langsung melayani. Tak sabaran, remaja ingusan tadi menghujaninya dengan sumpah serapah.

Saya disuruh balik negeri Cina. Saya dianggap tak berhak tinggal di sini (Banda Naira) karena tak punya – dan tak bawa – tanah. Saya mau balik ke mana? Saya lahir dan besar di sini.”
Cerita seperti ini bukan pertama kali saya dengar. Tapi, berada di Banda Naira, tempat Bung Hatta dan Sjahrir serta beberapa pemikir dan pendiri bangsa mengonsep negara kesatuan Indonesia di tengah pengasingan mereka, cerita ini menoreh luka lebih dalam. Kisah Simphu membuka perjalanan saya, meretas jejak-jejak sejarah bangsa, di tengah keindahan alam luar biasa, untuk kembali menjadi Indonesia di Banda Naira.


 
eNDRO  cATUR

INDAHNYA BANDA NAIRA

Cantiknya pulau-pulau di Indonesia timur memang sangat terkenal hingga mancanegara. Sebuah pulau yang terletak di bagian tenggara pulau Ambon, yaitu pulau Neira adalah salah satunya. Kekayaan alamnya berupa buah pala membuat para penjajah mendatanginya.
Pulau ini termasuk dalam Kepulauan Banda dan hanya terdapat satu kota di kepulauan tersebut, yaitu Banda Neira. Untuk dapat mencapainya memang membutuhkan waktu cukup lama, tetapi itu semua akan terbayar saat melihat keindahan pulaunya.
Kota Banda Neira ini tidak terlalu luas. Anda bisa mengitari pulau dengan naik becak, perahu atau ojek. Sambil menikmati keindahan pulau, ada beberapa tempat sejarah yang wajib didatangi salah satunya adalah Istana Mini Banda Neira.
Istana tersebut merupakan tempat tinggal Gubernur Jendral VOC JP. Coen. Bentuk istana tersebut ternyata merupakan cikal bakal bentuk Istana Negara yang ada di Jakarta. Dilihat dari depan, memang sama dengan bentuk Istana Negara tetapi versi mini.
Selain cerita sejarah pemerintahan JP. Coen, di dalamnya juga terdapat cerita misteri. Menurut pemandu wisata, JP. Coen dulu memiliki seorang pembantu yang bernama Spock. Sang pembantu ini merasa tertekan tinggal di pulau terpencil dan depresi. Hal ini membuat Spock bunuh diri.

SEJARAH UANG KERTAS BANGSA EROPA DIMULAI DARI BANDA

Satu lagi kilas  balik sejarah yang menempatkan Banda sebagai kota paling bersejarah di indonesia yaitu : sejarah penggunaan Uang kertas pertama di indonesia berawal dari banda, hal ini pula yang mengilhami penerbitan uang kertas moderen bangsa eropa lainnya seperti  Swedia 1661, Inggris 1694, Norwegia 1695, Perancis 1701.


Masa awal perkembangan uang kertas di Indonesia tak lepas dari pengaruh imperialisme asing (Belanda, Inggris, dan Jepang). Sejak kedatangan bangsa-bangsa asing, terutama para pedagang yang memperkenalkan berbagai jenis mata uang logam asing sebagai alat pembayaran dalam perdagangan dengan penduduk setempat sampai pengedaran mata uang logam khusus berlaku di kepulauan Nusantara 1602-1799, tidak dipergunakan uang kertas. Meskipun kertas telah dikenal di Indonesia pada abad XVII, sumber-sumber tertulis asing terutama dari bangsa Belanda dengan perwakilan dagang dan kekuasaannya Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) 1602–1799 tidak pernah menyebutkan penggunaan uang kertas tetapi uang logam sebagai alat pembayaran utama di kepulauan Nusantara.
.
Terkecuali, satu-satunya sumber tertulis Belanda yang melaporkan penerbitan uang kertas darurat oleh penguasa VOC di Pulau Banda pada Tahun 1659, dikarenakan kesulitan uang kecil dari bahan logam. Beberapa waktu setelah pengeluaran uang kertas karton darurat Kota Leiden 1576 dan saham pertama VOC di dunia 1606. Uang kertas Banda 1659 ini mendahului penerbitan uang kertas modern bangsa-bangsa barat: Swedia 1661, Inggris 1694, Norwegia 1695, Perancis 1701.
.
Selama masa kekosongan yang panjang (1659-1782) Bank pertama Bataviaasch Bank Courant (1746) dan Bank Van Leening mengeluarkan surat-surat bank dalam berbagai pecahan (1748-1752). Beberapa Tahun sebelum pembubarannya, VOC menyadari perlunya alat pembayaran dari kertas untuk transaksi besar yang dikenal sebagai “Surat Hutang Kompeni” (Compagnie Kredietbrieven) pada Tahun 1782. Instrumen moneter ini sering dianggap sebagai uang kertas pertama di Indonesia. Pada waktu yang hampir bersamaan penguasa VOC di Ceylon (Srinlanka) juga menerbitkan instrumen sejenis pada Tahun 1785 dan seterusnya. Uang “Surat Hutang Kompeni 1782” Ini beredar dalam jumlah hampir tidak terbatas sehingga turun nilainya menjadi 85%. Antara Tahun 1782-1799, VOC mengeluarkan beberpa emisi surat Hutang (Kredietbrieven) dengan pecahan berbeda-beda. Pemalsuan atas surat Hutang 1782 ini merupakan yang pertama kali di Indonesia.

Source (blog-apa-aja.blogspot.com) : Sejarah Uang Kertas Di Negara Kita, Masuk Gan !!


banda-naira.blogspot.com

GENOSIDA RAKYAT BANDA

 Pala menjadi berkah sekaligus bencana bagi orang Banda, yang dibunuh dan terusir dari tanah airnya.

PADA 8 April 1608, Laksmana Pieterszoon Verhoeven, bersama 13 kapal ekspedisi tiba di Banda Naira. Perintah Heeren Zeventien, para direktur VOC di Amsterdam, sebagaimana ditulis Frederik W.S., Geschiedenis van Nederlandsch Indie, kepada Laksamana Pieterszoon Verhoeven: "Kami mengarahkan perhatian Anda khususnya kepada pulau-pulau di mana tumbuh cengkeh dan pala, dan kami memerintahkan Anda untuk memenangi pulau-pulau itu untuk VOC, baik dengan cara perundingan maupun kekerasan."

Sejak lama Banda dikenal sebagai penghasil utama pala (Myristica fragrans). Bunganya yang dikeringkan disebut “fuli”.  Bunga ini membungkus daging buah pala. Sejak dulu pala dan fuli dimanfaatkan untuk rempah-rempah, yang mengundang bangsa Eropa untuk datang.

National figure and historian Des Alwi Abubakar

National figure and historian Des Alwi Abubakar died on Friday, aged 82. His family said he died in his sleep at his home in Permata Hijau, South Jakarta, at 5 a.m. Des had heart bypass surgery three weeks ago. Born in Banda Naira, Maluku, on Nov. 17, 1927, Des was a vocal advocate for the development of Banda Naira, a group of small volcanic islands in Maluku, as a tourist destination. The islands had a much darker past, being in colonial times a place of exile for pro-independence activists.

Des is also considered one of the country’s pre-eminent historians, documenting the history of Indonesian independence through film and documents. He learned his skills from national figures sent to Banda Naira by the Dutch, including Sukarno and Muhammad Hatta, who went on to become the country’s first president and vice president respectively. Central Maluku councilor Lutfi Sanaky said Des deserved to be declared a national hero “for the services he rendered as a historical and cultural figure.”

“He has worked for the betterment of the nation since the time of President Sukarno,” he said. “He was active in fighting for the nation’s freedom and served as a diplomat in Switzerland, the Philippines and Hong Kong, as well as ambassador to Malaysia. As a councilor for Maluku, we feel a great loss.” Des was awarded the Mahaputra Pratama medal in 2000, and he received two other medals.

Prayers were held at his Jakarta home on Friday and his body was then flown to Ambon. Prayers will be held at the Maluku Council in Ambon this morning, before his body is flown to Banda Naira, where he will be buried, according to his wishes. He is survived by his four children and five grandchildren.
antara.jakarta.com
banda-naira.blogspot.com