widgets
Untuk lebih Detil Klik >> Penawaran Produk dan Jasa
Showing posts with label Tautan Hati. Show all posts
Showing posts with label Tautan Hati. Show all posts

BANDA NAIRA DILUPAKAN SAYANG …..

Part I
Betapa tidak memilukan Pertama kali kembali kebanda sejak meninggalkanya 8 tahun yang lalu.. sejak memutuskan untuk merantau dan menimbah ilmu di kota makassar, banda menjadi topik yang menceriakan kami membuat senyum lebar di wajah anak banda yang gerah dengan aktifitas kuliah dan  kesibukan kota,.. tetapi selalu saja meningalkan senyum , tawa canda diantara kami ketika kembali ke rumah kontrakan dan merabahkan tubuh melepas penat,..
Senyum itu begitu saja tersungging di wajah kami ketika banda menjadi topic yang slalu kita dongengkan disela-sela melebur keletihan.. sejenak rasa rindu akan tempat dulu kami bermain  ketika kecil, rindu akan aroma laut banda yang hampr hampir kita lupakan karna terdegradasi oleh polutan kota Makassar.. rindu akan laut yang biru karna di sini jarang kami melihat pantai..
Masing masing dari kami menceritakan kisah-kisah indah, lelucon, cinta , kesemuanya mencerminkan kerinduan dan kecintaan kami akan tempat yang menjadi madu dihati kami.
8 tahun setelah rindu itu kupendam akhirnya  kakiku tak sanggup memikul beban kerinduan untuk kembali.
Sore itu akhirnya meninggalkan semuanya di Makassar, serasa pulang dari tempat jauh menuju surga, di benakku  semuanya telah berubah mungkin saja akan aku temui nanti di banda remaja kampungku  yang tak kukenali lagi ketika dulu aku meninggalkan mereka yang masijh lugu dalam senandung kecerian anak-anak mete atau orlima dikampung yang taakan pernah kutemui lagi.  
Bersambung…

DOA SANG TERSESAT

================================================
Tuhan jangan marah
Walau kami sering melupakan petuah

Tuhan jangan marah
Saat kami terjebak dalam mewah
Dan lupa kan semua berkah

Tuhan jangan marah
Saat kami kehilangan arah

Tuhan jangan marah
Saat semua perintah-Mu membuat kita gerah

Tuhan jangan marah
Kami mohon agar diberikan hidayah
Dan hidup kami kan berubah
Sebelum kami musnah
====================================================
banda-naira.blogspot.com

Raja, Ratu dan Buto

Raja, Ratu dan Buto
banda-naira.blogspot.com posted by Saiful Karmen
Adakah di antara Anda yang merasakan, menyadari atau setidaknya mengasumsikan bahwa banyak hal yang sedang menjadi pengalaman kolektif masyarakat kita dewasa ini -- diam-diam ada kaitannya dengan idiom-idiom 'raja', 'ratu' dan 'buto'?
Marilah sesekali berpikir jernih dan tolong kerahkan akal pikiran serta segala spektrum keilmuan Anda -- untuk menjawab pertanyaan: apakah di penghujung abad 20 ini masih ada raja, ratu, atau buto? Kalau kita berpikir formal, tak ada raja, apalagi ratu. Tapi kalau berpikir substansial atau essensial: kita-kita ini adalah raja, adalah ratu, juga adalah buto. Kita mungkin raja atas bawahan-bawahan kita. Kita raja di rumah, di lingkungan kantor, atau mungkin di mana saja kita berada. Sekurang-kurangnya kita secara alamiah (dan diperkembangkan oleh tradisi pengalaman sosial) memiliki potensialitas untuk cenderung menjadi 'raja', yang sadar atau tak sadar, kita terapkan di setiap kosmos keterlibatan sosial kita. Kita cenderung merajai rumahtangga kita, merajai lingkungan pergaulan kita, merajai segala aset di sekitar kita. Apalagi jika kita dibesarkan oleh suatu lingkungan yang atmosfer perhubungan antar-manusianya bersifat feodalistik -- di mana orang hanya memiliki dua kemungkinan: kalau di atas, menginjak; kalau di bawah, menjilat atau mengemis. Yang terbaik tentulah jika kita sanggup menjadi raja atas diri kita sendiri. Kita menjadi raja atas segala urusan hidup kita. Kita menjadi raja yang demokratis dan pensyukur atas segala kebaikan diri kita, kita menjadi raja yang diktator atas segala keburukan diri kita. Tetapi apa beda antara 'raja' dengan 'ratu'
sesungguhnya? Sehingga tulisan ini berjudul demikian? Kalau membedakan antara raja dan ratu dengan buto, masih relatif agak gampang. Buto, atau raksasa, tak pernah ada dalam kehidupan manusia, di bagian manapun dari sejarah peradabannya. Buto atau raksasa hanyalah personifikasi dari salah satu watak gelap manusia yang berpotensi antikemanusiaan, antikebaikan, antikehalusan. Rahwana digambarkan berbadan dan berwajah raksasa, karena ia lambang kejahatan. Meskipun demikian, menurut masyarakat Srilanka, Rahwana bisa menjadi pahlawan yang ganteng. Justru Prabu Rama itu imperialis, fasis, kolonialis, yang lebih tepat untuk digambarkan berwajah buto. Sebagaimana orang Blambangan dan Banyuwangi tidak mengakui gambaran Menakjinggo yang oleh 'sejarah versi Majapahit' digambarkan sebagai buto yang buruk wajah maupun kelakuannya. Bagi mereka, justru raja-raja Majapahit yang raksasa, yang menindas, yang menampakkan kehendak. Adapun Menakjinggo adalah pahlawan, nasionalis Blambangan sejati, pejuang demokrasi, otonomi dan kemandirian Blambangan atas imperialisme Majapahit. Sunan Kalijaga mencoba merombak konsep paralelitas antara gambaran fisik dengan watak, moral atau perilaku. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah seburuk-buruk makhluk jika dipandang dari sudut performa. Tapi nurani mereka, moral mereka, kasih sayang kemanusiaan mereka, pembelaan kerakyatan mereka, tak ada yang menandingi. Adapun bagaimanakah filosofi dan konsep budaya manusia modern kayak kita sekarang ini? Apakah kesopanan seseorang, kenecisan penampilan seseorang, kostum seseorang, identik dengan realitas per moralnya? Masihkah kita boleh terjebak oleh surban, oleh performan kepriyayian, oleh peci, oleh gelar kiai, bahkan oleh status kehajian seseorang? Tetapi jangan mentang-mentang performa kekiaian atau kepriyayian tidak menjamin moral dan perilaku sosial, lantas kita memitologisasikan performa yang lain: bahwa yang baik pasti yang tidak pakai peci, pasti yang tidak bersurban dan tak bergelar kiai. Mentang-mentang banyak penipu pakai sepatu dan dasi, lantas kita anggap yang pakai sendal dan kaos oblong pasti baik. Kita tetap harus obyektif dan sanggup menemukan relativitas dari simbol yang manapun. Relativisme kultur harus diterapkan pada semua gejala lambang. Kalau warna hijau, umpamanya, dilegalisir secara kultural untuk menyebut kelompok 'beragama', kita tidak lantas memastikan bahwa produk perilaku kelompok ini tentu berkualitas kiai dan priyayi, tentu bermoral dan selalu berada di pihak yang benar. Sebab bisa saja dari kaum hijau justru muncul rekayasa dan perilaku ala buto atau raksasa yang menabrak apa saja dengan kasar, yang meringkus apa saja dengan brutal, yang melegalisir 'kudeta' ini dan itu, mendongkel dadap dan waru, yang menggoyang dan menjatuhkan fulan dan polan. Artinya, dalam hidup ini terutama dalam dunia gawat yang bernama politik: sangat mungkin terjadi priyayi berperilaku buto, kiai bergerak secara raksasa. Sebaliknya, dengan itu semua kita tidak lantas
terjebak pada fenomena antitesis yang juga kita dramatisir dan kita itologisasikan. Misalnya bahwa kita langsung menganggap bahwa yang non-hijau pasti yang benar, yang sopan, yang bermoral, yang pro-demokrasi. Kita sungguh-sungguh memerlukan kejernihan akal, hati yang sejuk dan jiwa yang selapang-lapangnya, untuk mempersepsikan segala sesuatu yang hari-hari ini kita baca di koran-koran dan kita tonton di teve dan kita dengar di radio maupun di warung-warung. Atau jangan lupa bisa juga ada raja yang benar-benar raja atau ratu yang benar-benar ratu, namun ia dikelilingi oleh buto-buto. Segala akses informasi yang diterima oleh telinga sang raja berasal dari buto-buto. Kepada raja dikatakan ''Paduka, mereka sudah tak suka sama si Waru, jadi sangat dibutuhkan pergantian''. Dan kepada 'mereka' dikatakan: ''He anak-anak, Paduka sudah tidak berkenan lagi sama si Waru, jadi segera bikin kumpul untuk penggantian...'' Termasuk jangan lupa bahwa sesungguhnya para buto tidak senantiasa merupakan makhluk yang benar-benar buto. Para priyayi, priyagung, kiai, atau apapun, yang penuh sopan santun, yang tampak bermoral dan khusyu -- bisa pada momentum tertentu terpaksa menjadi buto, untuk kepentingan tertentu yang harus dilaksanakan secepat-cepatnya. Oleh karena itu jika Anda sudah menjadi Ratu, pada saat yang diperlukan bersikaplah segera menjadi Raja. Raja itu jelas kehendaknya, dawuhnya, perintahnya, rancangannya. Kalau Ratu, cenderung diam karena anggun dan penuh wibawa. Ratu lebih banyak senyum-senyum saja. Namun kemudian yang berlangsung di seluruh negeri adalah interpretasi para buto
tertentu atas senyum sang Ratu. Kalau interpretasi murni, masih lumayan. Tapi
kalau interpretasi berdasar kepentingan para buto, susahlah semua rakyat.

Tautan Hati Seputar Cinta

Seputar Cinta & Kasih (dalam tulisan Cak Nun)
banda-naira.blogspot.com posted by Saiful Karmen
Sebuah renungan," Beragama yang Tidak Korupsi Oleh: Emha Ainun Nadjib Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. "Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan.""Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya."Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun."Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca Al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal Al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca Al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-quran.Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.Ekstrinsik VS IntrinsikDalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka." Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport. Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan. Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsikmereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama. Sumber: Jalal Center