widgets
Untuk lebih Detil Klik >> Penawaran Produk dan Jasa

Bersama Hatta dan Sjahrir di Banda Naira

Bersama Hatta dan Sjahrir di Banda Naira
Mendirikan Sekolah Sore
  
SETELAH akrab dengan beberapa keluarga di Banda, Oom Hatta dan Oom Sjahrir menyelenggarakan sebuah sekolah yang dilaksanakan pada sore hari dengan tidak memungut bayaran bagi anak-anak Banda Naira yang tidak bersekolah. Murid-murid sekolah sore adalah penduduk yang secara ekonomi kurang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah yang ada. Di antara mereka adalah para cucu Said Baadilla serta Donald dan Louis; anak angkat Dr Tjipto Mangunkusumo. Juga ada anak-anak seorang mantan nakhoda schooner mutiara yang kawin lari dengan seorang gadis dari Darwin, Australia, dan kemudian hidup bahagia bersama gadis itu di Naira; serta beberapa anak Banda yang tidak berpeluang melanjutkan pendidikan mereka di Ambon, Makasar atau Jawa. Selain itu ada pula anak-anak para administratur beberapa perkebunan pala, namun mereka tidak mengikuti pelajaran secara tetap karena orang tua mereka khawatir jika anak-anaknya bergaul dengan orang-orang politik dalam pengasingan. Para orang tua itu juga kurang suka bergaul dengan orang-orang pengasingan karena takut ditegur oleh Kontroler. Beberapa anak hanya mengikuti sekolah sore kalau merasa membutuhkan pelajaran tambahan karena ketinggalan dalam pelajaran tersebut di sekolah Belanda, atau bila mereka terlalu nakal di rumah sehingga disuruh orang tuanya mengikuti sekolah Hatta dan Sjahrir yang gratis itu. Sebenarnya kedua Oom ini sedih melihat begitu banyak anak-anak Banda yang kurang mendapat pendidikan yang bermutu seperti bahasa Belanda yang diperlukan jika hendak melanjutkan ke sekolah menengah. Memang bahasa Belanda kurang dipakai di Kepulauan Banda Naira. Bahkan para Burgo (keturunan Indo-Belanda) lebih suka berbicara Banda daripada bahasa nenek moyang mereka. Hatta dan Sjahrir pun menganggap mereka orang Indonesia.

Sjahrir pernah menulis bahwa semua orang di Banda dianggap orang Indonesia. Konsep itu memang cocok dengan adat Banda yang mengatakan semua orang yang lahir di Banda Naira adalah orang Banda, tidak terkecuali suku maupun bangsa mana pun. Juga setiap warga jika ibunya orang Banda otomatis menjadi orang Banda di manapun ia berada. The son of my daughter is my son. Begitulah adat Banda, yang lebih menganut sistem matrilineal, yang agaknya timbul setelah lebih dari 6.000 warga Banda dibunuh oleh VOC dan banyak laki-laki yang dibuang ke Jakarta pada tahun 1621. Itulah sebabnya maka semua orang kelahiran Banda bisa ikut terlibat dalam acara-acara adat, termasuk upacara adat yang sakral seperti mengantar bunga ke makam leluhur Banda, mengambil air dari sumur adat, tarian perang Cakalele dengan memakai baju adat, sampai mendayung Kora-kora adat (Belang). Termasuk orang Burgo, China, Jawa, Arab dan sebagainya.

Oom Hatta memberikan pelajaran kepada anak-anak yang agak besar dan Oom Sjahrir kepada anak-anak yang lebih kecil. Oom Hatta juga memberikan pelajaran pada anak-anak yang tidak mendapat kesempatan untuk memasuki Sekolah Dasar Eropa, hanya Sekolah Melayu (Sekolah Rakyat) yang sebelum masa perang dikenal sebagai sekolah "kelas dua." Ia bermaksud memberi anak-anak itu tambahan pelajaran bahasa Belanda dan mata pelajaran lain yang tidak diperoleh di Sekolah Melayu.

Saya mengundurkan diri dari sekolah tante Willy dan masuk sekolah sore asuhan kedua orang buangan tersebut, yang tidak memungut bayaran apa pun. Di beranda belakang kediaman Oom Sjahrir dan Oom Hatta yang besar itu kami memperoleh pelajaran-pelajaran membaca, menulis, arithmatika, dan bahasa Inggris. Semua mata pelajaran disampaikan dalam bahasa Belanda. Saya selalu berusaha tiba setengah jam sebelum pelajaran dimulai. Memasuki pekarangan dari pintu halaman, langsung menuju ke pohon mangga atau sawo. Oom Hatta sangat marah setiap kali memergoki saya ada di atas pohon. Bukannya terlalu sayang pada buah-buahan itu, tetapi khawatir saya jatuh dari atas pohon dan cedera.

Oom Hatta selalu marah bila ada murid yang tidak menguasai pelajarannya. Apalagi jika bukunya tampak terlipat-lipat (Ezel's oren). Karena kelas Oom Hatta dan kelas Oom Sjahrir hanya dipisahkan oleh sebuah papan tulis, saya dapat mendengar teriakan dan kata-kata yang diucapkannya kepada para murid laki-laki yang agak bodoh. Kata kesenangannya adalah "monyet kecil." Pada mulanya kami tidak tahu arti kata itu, karena monyet dalam bahasa Belanda adalah "yaki." Tetapi setelah Oom Sjahrir menjelaskan arti "monyet", kami jadi geli sendiri. Anak-anak Oom Tjipto juga mengikuti kelas Oom Hatta. Saya senang tidak duduk di kelas Oom Hatta, karena di sana sudah pasti ia akan memanggil saya monyet saking seringnya memergoki saya sedang berada di atas pohon buah-buahan.

Pernah pula anak perkenier Van den Broeke, si Karel, diam-diam mengikuti pelajaran di sekolah sore setelah dia dikeluarkan dari sekolah Belanda karena dianggap terlalu bandel. Ayahnya yang kaya ingin menyekolahkannya ke Jawa tetapi ibu tirinya keberatan, sehingga Karel tidak lagi belajar di sekolah Belanda karena hanya ada satu sekolah Belanda di seluruh Kepulauan Banda Naira. Kegiatan Karel hanya luntang-lantung berkeliling Naira, mencuri buah-buahan dari halaman rumah orang, mencari ikan-ikan kecil dengan air tuba atau meng-katapel burung-burung di pohon, di atap-atap rumah atau pantai.

Ia memang benar-benar bandel. Semua orang di Naira membicarakan kenakalan Karel. Ayah dan ibu tirinya tinggal di perkebunan Walang Besar di Banda Besar dan jarang sekali datang ke Naira. Mereka tampaknya tidak peduli sama sekali pada kenakalan Karel, terutama ibu tirinya yang memiliki kira-kira lima anak tiri yang semuanya diasuh oleh seorang pembantu yang gemar bermain ceki.

Namun, betapapun nakalnya Karel, ada juga kebaikannya. Ikan kecil di dekat pantai yang dimabukkan dengan akar cermai (tuba), berbagai kepiting yang diperolehnya di pantai, mangga curiannya dari rumah-rumah para perkenier lainnya, bahkan juga dari halaman belakang kediaman Kontroler, maupun buah-buahan yang diambilnya dari halaman rumah orang tuanya, diberikannya kepada seorang tua bernama Bapak Cao, penjaga kebun kayu manis keluarga Baadilla. Lalu Cao menjual sebagian buah-buahan itu dan uang perolehannya dipakainya untuk membeli beras dan sagu kebutuhannya sehari-hari. Karel biasa datang ke gubuk pak Cao untuk makan siang menyantap sagu, ubi dan ikan. Pak Cao jugalah yang mengajar Karel bagaimana membuat perahu mini atau menceritakan kisah-kisah lama dan berbagai legenda tentang Banda.

Saya menyukai Karel karena ia sangat pemurah terhadap pak Cao, orang tua yang tidak mendapat apa-apa dari menjaga kebun kayu manis Nenek saya. Kebun itu tidak menghasilkan kayu manis dalam jumlah yang memadai untuk dijual, bahkan kopi Robusta yang ada di kebun itu juga sangat sedikit jumlahnya untuk dijual. Sekali sebulan pak Cao datang ke tempat tinggal Nenek membawa satu karung kulit kayu manis kering dan sedikit kopi. Setiap kali ia datang, Nenek memberinya uang atau beras. Nenek sangat senang mendapat kopi dataran rendah Banda yang harum itu, karena dengan adanya kopi itu ia merasa menikmati sesuatu dari satu-satunya kebun yang masih dimilikinya di Naira. Kadang-kadang kopi dan kayu manis itu dikirimkannya kepada anak-anaknya di Ambon, Makassar, dan Jawa, sekedar hanya untuk menunjukkan pada mereka bahwa kebun Baadila masih menghasilkan sesuatu.

Sebenarnya, Karel mengikuti sekolah sore atas ajakan kedua Oom itu setelah mendengar cerita tentang Karel dari kami, murid-muridnya. Karel dikeluarkan dari sekolah setelah dua tahun berturut-turut gagal menempuh ujian kenaikan dari kelas tiga ke kelas empat. Sistem pendidikan di sekolah Belanda tidak membolehkan seorang murid naik kelas jika gagal menempuh ujian tahunan dan si murid yang gagal dalam ujian harus kembali duduk di kelas yang sama selama satu tahun lagi. Bila murid itu gagal lagi dalam ujian tahun berikutnya dan telah mencapai usia maksimum untuk kelasnya, ia dikeluarkan dari sekolah dan tidak boleh melanjutkan sekolah. Di kota-kota besar murid yang gagal itu masih bisa mendaftar di sekolah lain atau di sekolah swasta. Tetapi di Banda hanya ada sebuah sekolah Belanda. Tak lama setelah Karel dikeluarkan dari sekolah, seluruh anggota masyarakat Belanda di Banda mengetahui bahwa Karel belajar atau dibimbing oleh tokoh-tokoh politik dalam pengasingan yang anti-pemerintah Belanda. Ayah Karel tampaknya sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Mungkin ia berpendapat hal itu lebih baik bagi anaknya daripada keluyuran di jalanan, mengganggu orang dan mencuri buah-buahan di halaman orang. Apalagi Kontroler muda Belanda yang baru tiba dari negeri Belanda, kenalan Oom Rir sesama mahasiswa di Universitas Leiden enam tahun sebelumnya, tidak memberikan reaksi apa-apa. Memang tidak ada undang-undang yang melarang seorang anak untuk mengikuti pelajaran privat dari siapa pun, bahkan dari para penentang sistem kolonial yang menginginkan kemerdekaan bagi negerinya.

Suatu hari saya mengenalkan Karel kepada Donald dan Louis, anak-anak Oom Tjipto. Mulanya ia segan ke rumah Oom Tjipto karena khwatir ibu mereka akan menolak kehadirannya. Tetapi setelah saya jelaskan bahwa ibu Donald dan Louis sangat baik, barulah ia bersedia ikut. Tante Mie yang sudah banyak mendengar tentang Karel mengizinkan kedua putranya berteman dengan Karel dengan syarat, tidak boleh diajari memanjat pohon dan berenang di laut. Sejak itulah hubungan Karel dengan Donald dan Louis semakin akrab. Karel semakin sering menemui mereka dan belakangan setiap hari Karel bermain dengan mereka. Ia bahkan mengenakan pakaian seperti anak-anak Oom Tjip, kemeja putih dan celana pendek warna hijau atau biru. Semenjak itu perkenier Van den Broeke jadi sering mengirim rambutan dan buah-buahan lain dari perkebunannya di Walang kepada keluarga Oom Tjip dan kedua Oom angkat saya. Kalau ia kebetulan lewat di depan rumah Oom Tjip ketika beliau sedang duduk di kursi di beranda depan sambil mengisap pipa, Van den Broeke selalu menyapanya dengan hormat, namun tidak pernah singgah untuk mengobrol dengan Oom Tjip.(Bersambung)

1 komentar:

Anonymous said...

sambungannya bang....seru skali...rsa mcm nyata2 eee....

Post a Comment

Tanggapannya Gan..?