Menjadi Indonesia Kembali di Banda Naira

Langkah sepatu menggerus lantai terakota tiba-tiba memecah suasana. Tak ada lagi berisik, tak ada lagi kegaduhan. Senyap menyergap. Sang guru tiba. Saatnya belajar. Di sana, di teras pojok rumah, di mana meja-kursi dan papan tulis tersusun rapi, tak satu senti pun melenceng dan tak sedikitpun debu menodai. Persis seperti yang empunya rumah ingini. Simphu, seorang warga senior Banda Naira menceritakannya dengan mata berkaca-kaca. Walau tak lama, ia sempat duduk di salah satu kursi-kursi tadi. Tak pernah bosan ia mendengarkan Bung Hatta, sang guru berkacamata, mendongeng kisah menggugah, menanamkan cita-cita pendiri bangsa: negara kesatuan yang tumbuh dari dan atas keberagaman.

Pernah, seorang remaja belasan tahun datang mencari alat pancing di toko kelontongnya di kawasan Kota Cina. Karena tangannya sedang sibuk, ia tak langsung melayani. Tak sabaran, remaja ingusan tadi menghujaninya dengan sumpah serapah.
Saya disuruh balik negeri Cina. Saya dianggap tak berhak tinggal di sini (Banda Naira) karena tak punya – dan tak bawa – tanah. Saya mau balik ke mana? Saya lahir dan besar di sini.”
Cerita seperti ini bukan pertama kali saya dengar. Tapi, berada di Banda Naira, tempat Bung Hatta dan Sjahrir serta beberapa pemikir dan pendiri bangsa mengonsep negara kesatuan Indonesia di tengah pengasingan mereka, cerita ini menoreh luka lebih dalam. Kisah Simphu membuka perjalanan saya, meretas jejak-jejak sejarah bangsa, di tengah keindahan alam luar biasa, untuk kembali menjadi Indonesia di Banda Naira.
eNDRO cATUR
2 komentar:
info2 terbaru d bandanesee ,tolong di posting jg yah.. tq
Pul,,info terupdate dong...,syapa tw ada kewa ka..wkwkwk
Mantaf....
Post a Comment
Tanggapannya Gan..?