widgets
Untuk lebih Detil Klik >> Penawaran Produk dan Jasa

PELAYARAN NIAGA ORANG BANDA

Pala dengan fullinya (bunga pala) merupakan komuditi yang sangat dibutuhkan di pasar internasional, terutama di Eropa dan China. Akan tetapi untuk sampai ke daerah konsumen itu dibutuhkan sebuah jaringan pelayaran niaga antar pulau yang cukup panjang, disamping risiko laut yang harus dihadapi oleh para pedagang. Risiko laut yang dihadapi antara lain seperti gelombang besar yang berakibat perahu tenggelam atau terdampar, juga perompakan di laut oleh kelompok-kelompok bajak laut ). Jaringan pelayaran niaga yang panjang dengan banyak pedagang perantara serta risiko-risiko laut yang dihadapi oleh para pedagang itu merupakan dua faktor yang menyebabkan perbedaan harga pala yang begitu mencolok antara daerah produsen (Banda) dengan daerah konsumen (Eropa).
Kepulauan Banda menjadi penting dalam percaturan niaga regional maupun internasional, karena buah pala yang menjadi komoditi yang sangat mahal dan dibutuhkan ketika itu hanya terdapat di Kepulauan Banda. Dalam konteks itu orang-orang Banda tidak saja bertindak sebagai petani produsen, tetapi juga terlibat dalam jasa pengangkutan cengkih dari Ternate. Cengkih dibawah dari Ternate ke Banda Neira untuk kemudian dijual kepada pedagang disana. Orang-orang Banda selain menjual pala kepada para pedagang pembeli, juga membawa sendiri pala ke pelabuhan-pelabuhan dagang seperti Gresik, Banten, Jepara dan Malaka. Pada awal abad ke-17 Gresik dan Giri di Jawa Timur membangun hubungan dagang yang bersifat interdependensi dengan orang Maluku. Tercatat bahwa pada tahun 1615 harga beras di Jawa rata –rata hanya 9 – 10 real per koyang (2 ton). Sedangkan di Maluku harganya bisa mencapai 50 –60 real per satu ton. Itulah sebabnya Gresik menyiapkan pelabuhan bagi kapal-kapal berukuran 40 – 100 ton untuk berlayar ke Maluku pulang pergi. Mereka menjual beras kepada orang-orang Maluku terutama Banda, Ambon (Hitu) dan Ternate, kemudian membeli pala dan cengkih dari Maluku. Disini terjadi interdependensi hidup antara orang Maluku dengan orang Jawa. Laporan-laporan Belanda mencatat pada masa itu sejumlah 60 kapal besar dan kecil tiba di Gresik setiap tahun dengan muatan rempah-rempah dari Maluku. Dari sumber lain diketahui bahwa paling banyak 7 jung besar mengangkut pala setiap musim dari Banda ke pulau Jawa, selebihnya diangkut oleh kapal-kapal berukuran kecil. Pada umumnya kapal-kapal Banda sendiri yang mengangkut rempah-rempah itu ke Gresik, dan seterusnya diangkut dengan kapal-kapal lain ke Malaka, Sumatera, Kalimantan, Patani sampai ke Siam ). Akan tetapi kapal-kapal Banda selain mengunjungi Gresik, Jepara dan Banten juga berlayar sampai ke Malaka. Tome Pires menyebut diantara pengunjung kota Malaka terdapat orang Banda. Selain itu disebut pula bahwa diantara 4 orang syahbandar di kota Malaka, ada seorang yang khusus melayani pedagang dari Jawa, Maluku, Banda, Palembang dan sebagainya. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa setidak-tidaknya sejak permulaan abad ke-16 orang-orang Banda sudah memiliki pemukiman di Malaka dan memiliki armada dagang yang mampu berlayar sampai ke Malaka.
Armada pelayaran niaga Banda, menurut Tome Pires dinilai tidak terlalu baik jika dibandingkan dengan kapal-kapal Jawa. Kapal-kapal Banda hanya mempunyai jangkar kayu dengan pemberat batu dan awak kapal terdiri dari budak belian yang cepat-cepat meninggalkan kapalnya jika ada bahaya kecil sekalipun. Oleh karena itu perjalanan mereka menghabiskan waktu yang lama dan banyak diantara kapal-kapalnya yang tenggelam ). Pelayaran dari Malaka ke Maluku biasanya melewati pantai Timur Sumatera dan menyusur pantai Utara Jawa (Banten, Jepara dan Gresik). Kemudian kapal-kapal tersebut berlayar melalui Bali, Lombok dan Nusa Tenggara terus ke Maluku. Itulah sebabnya pelabuhan pelabuhan di pantai Utara Jawa, seperti Banten, Jepara dan Gresik tumbuh dengan sangat pesatnya.
Sejak dulu Banda sudah menjadi pusat perdagangan di perairan Maluku Tengah. Pedagang-pedagang luar daerah tertarik untuk datang dan berdagang di kepulauan Banda, karena di sini mereka dapat bertransaksi dagang cengkih dan pala yang sangat dibutuhkan di pasar Eropa ketika itu. Sebagaimana diketahui, Banda hanya memproduksi pala dan tidak menghasilkan cengkih, tetapi kapal-kapal Banda sendiri turut serta dalam pengangkutan hasil-hasil dari pulau-pulau lain ke Banda ). Tome Pires mencatat bahwa Kepulauan Banda dapat menjamin muatan 500 bahar fulli (bunga pala) dan 6000 – 7000 bahar biji pala setahun. Walaupun angka-angka ini dianggap tinggi, namun tidak ada data lain yang dapat dijadikan pembanding. Sumber Belanda abad ke-16 (dari eyer Cornelisz, akhir abad ke-16) memberi angka yang sama. Menurutnya para pedagang asing lebih suka membeli bunga pala dari pada biji pala. Oleh sebab itu orang Banda mengeluarkan peraturan, bahwa bunga pala hanya dapat diperoleh apabila dibeli bersama dengan biji pala, dengan perbandingan 7 bahar biji pala untuk 1 bahar bunga pala. Nilai cengkih pun menurun jika dibanding dengan bunga pala. Pada tahun 1600 nilainya masih sama, tetapi pada tahun 1603 perbandingan nilai antara cengih dengan bunga pala adalah 7 : 10 yakni 7 bahar bunga pala sebanding dengan 10 bahar cengkih.
Jika pelayaran orang-orang Banda dari Malaka ke Maluku (Banda) melalui pesisir Timur Sumatera kemudian ke pantai Utara Jawa dan seterusnya ke Bali – Lombok – Nusa Tenggara – MalukuTenggara dan masuk ke Banda, maka Portugis atas saran Tome Pires menggunakan jalur lain yakni dari Malaka menuju Kalimantan Selatan kemudian menyeberang ke Sulawesi Selatan (Makassar) dan terus berlayar ke Maluku. Jalur pelayaran Portugis ini mendorong tumbuhnya pelabuhan Makassar menjadi sebuah emporium ) di Timur Indonesia. Karena sesudah Portugis orang-orang Belanda dan Inggris juga meliwati jalur pelayaran yang sama, bahkan kemudian diikuti oleh pelaut-pelaut Nusantara lainnya.
Seperti diketahui pelaut bangsa Asing pertama yang sampai ke Banda adalah dua buah kapal Portugis yang dipimpin oleh Antonio de Abreu dan Francisco Serrau. Setelah membeli pala dalam jumlah yang besar, mereka kemudian meninggalkan Banda Neira. Dalam buku harian kapal, Francisco Serrau mengisahkan bahwa;
“ Dalam pelayaran kapal yang sarat dengan muatan pala kembali dari Banda, Nahkoda Ismail yang kami bawah dari Malaka mengarahkan pelayaran kami ke pulau Licipara di Kepulauan Penyu. Di Lucipara ini kami mengalami musibah, karena kapal kami kandas. Kami benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi pada saat itu, Nahkoda Ismail dan anak buah kapal yang kami bawah dari Banda menyarankan agar kami menunggu. Biasanya disekitar pulau tersebut selalu beroperasi bajak laut dari Makassar dan Bugis. Kenyataannya memang demikian. Tak lama setelah mereka mengatakan itu sebuah kapal bajak laut kelihatan akan menyerang kami. Kami menunggu dan membiarkan mereka datang lebih dekat. Begitu mereka mendekat kami melepaskan tembakan dan menaklukan mereka. Bajak laut sangat kaget dengan bunyi senapan yang baru pertama kali digunakan. Setelah mereka menyerah kapal mereka kami rampas dan muatan pala yang diangkut dari Banda di pidahkan ke kapal yang dirampas itu. Atas saran dari anak buah kapal dari Banda akhirnya kami menuju Hitu di pulau Ambon. Tampaknya beberapa hari sebelum kami tiba di Hitu, Sultan Bolief dari Ternate telah mengirim Pangeran Fuliba (saudara kandung) dengan sembilan korakora untuk menjemput kami. Sultan Ternate ternyata telah mendengar kedatangan orang kulit putih yang belum pernah dilihat dan mau mengetahui sebagai pemakai cengkih dan pala di negerinya ).
Tampaknya kesengsaraan Fancisco Serrau dan anak buahnya selama pelayaran dari negerinya ke Kepulauan Banda memperoleh keuntungan yang besar di darat. Namun bukan Banda atau Hitu yang dipilih menjadi pangkalan operasi untuk masa-masa mendatang, tetapi Ternate di Maluku Utara. Untuk mendapatkan pala dari Banda, Portugis membeli dari para pedagang regional.
Kepulauan Banda tetap terbuka untuk berbagai bangsa yang datang mengaduh nasib mencari keuntungan. Pada tahun 1599 pelaut dan pedagang Belanda tiba di Kepulauan Banda. Menyusul kemudian para pelaut Inggris yang tiba pada tahun 1601. Pelaut Belanda yang datang dengan dua buah kapal yakni Gelderland dan Zeeland berlabuh di lepas pantai Orantata, sebuah kota kecil di Pulau Banda Besar pada Maret 1599. Berbagai persyaratan ditawarkan oleh para Orang Kaya dan Syahbandar, jika Belanda ingin membeli pala dari rakyat Banda. Jacob van Heemskerk yang memimpin armada dagang Belanda menyatakan persetujuan atas syarat-syarat yang diajukan yakni secara berkala harus memberikan hadiah berupa cermin, pisau, gelas kristal, beludru merah dan meriam kecil dan bahan mesiunya kepada Orang Kaya dan membayar upeti kepada Syahbandar (penguasa pelabuhan). Heemskerk kemudian membuka dua buah pos dagang (loji) dan menugaskan kepada para pedagang yang ikut serta dengannya untuk mengelola dan memulai tawar menawar untuk pembelian pala, bunga pala dan cengkih, baik dari orang-orang Banda maupun pedagang regional yang berada di Banda Neira.
Dalam percaturan niaga di Banda Neira, orang-orang Banda menganut prinsip perdagangan bebas. Mereka bebas menjual kepada pedagang mana saja yang berani membeli dengan harga tinggi. Demikian pula pelayaran pengangkutan cengkih dan pala. Sementara Belanda menghendaki prinsip monopoli pembelian dan pengangkutan. Perbedaan prinsip inilah yang menimbulkan konflik, tidak saja antara Orang Banda dengan Belanda tetapi juga antara Belanda dengan pedagang-pedagang regional, seperti Jawa, Bugis dan Makassar. Dibandingkan dengan para pedagang Portugis dan Asia lainnya yang secara tetap berdagang dengan orang Banda, haruslah diakui bahwa Inggris terutama Belanda memang berupaya mati-matian untuk menguasai kepulauan tersebut. Saling ancam sangat sering terjadi antara kedua pendatang Eropa itu. Namun Belanda yang secara terus menerus memperkuat armada perangnya berhasil menaklukan kepulauan yang kaya akan buah pala itu pada tahun 1621. Penduduknya sebagian diasingkan ke Batavia ) dan sebagian besar lainnya melarikan diri ke pulau Seram, ke pulau-pulau antara Seram bagian Timur, sampai ke pulau Kei Besar di Maluku Tenggara. Namun sebagian kecil penduduknya tetap bertahan di Kepulauan Banda dan tunduk kepada kekuasaan Belanda. Mereka inilah yang melanjutkan tradisi masyarakat Banda baik sebagai petani pala maupun sebagai pelaut-pelaut yang tangguh.
Kepulauan Banda dengan penduduk yang sangat minim itu, kemudian oleh Belanda (VOC) didatangkan penghuni-penghuni baru dari Jawa, Bali, dan beberapa daerah lain di Nusantara. Kepulauan yang kaya akan buah pala itu, oleh VOC kemudian di bagi-bagikan menjadi 68 persil atau yang disebut “Perken” (perkebunan) yang masing-masing persil berukuran antara 12 – 30 Ha. Kepada setiap pemilik perkebunan (perk) oleh VOC disediakan 25 orang budak ).
Kejatuhan Banda tidak berarti musnah pula tradisi orang Banda sebagai pelaut yang tangguh, sebab beberapa sumber menyatakan bahwa orang-orang Banda yang mengungsi ke pulau Kei Besar (Banda Eli) sering melakukan pelayaran ke kepulauan Banda untuk menjual atau menukar beberapa peralatan masak dari tembikar kepada penduduk di Banda Neira. Bahkan diantara mereka ada yang menetap di Banda sebagai orang-orang bebas. Mereka inilah bersama pribumi Banda yang berstatus budak yang melanjutkan tradisi maritim di kepulauan Banda hingga saat ini. Namun harus diakui, bahwa tradisi kemaritiman itu bukan lagi sebagai pelaut-pelaut yang melayari samudera, namun sebagai nelayan-nelayan yang sangat cekatan dan trampil dalam menangkap ikan.

banda-naira.blogspot.com

0 komentar:

Post a Comment

Tanggapannya Gan..?