banda-naira.blogspot.com posted by Saiful Karmen
kutip dari :cerita perjalanan imam brotosono http://dunialaut.com
….Jarak dari teras hotel menuju tepi dermaga laguna hanya sekitar 6 meter, dan saya melihat air laut sebening kaca memantulkan refleksi violet, biru dan magenta dari langit pagi ini Sementara di bibir puncak gunung , masih tampak terlihat bongkahan batu dan tanah tanah hitam sisa sisa erupsi beberapa tahun lalu. Benar benar sebuah pemandangan yang indah dan fantastis ! Dikemudian hari , Des Alwi menjelaskan bahwa karena posisi letak hotel yang tak ada duanya di dunia, tepat di depan laguna dan gunung berapi, membuat Hotel Maulana pernah dikategorikan sebagai salah satu dari 50 hotel terbaik di dunia. Sesekali melintas nelayan dengan perahu kecilnya sambil melambaikan tangannya kepada saya di tepi dermaga. Begitu damainya disini, dan tiba tiba saya sadar bahwa begitu kayanya alam negeri Indonesia ini…” Akhirnya balasan yang saya tunggu tiba juga, sebuah surat beramplop coklat yang dikirim oleh Des Alwi sendiri. Agak geli juga saya menerima surat itu,betapa tidak di jaman modern yang serba praktis dimana orang bisa berkomunikasi melalui facsimile atau internet, ia masih saja menggunakan jasa kantor pos untuk menyampaikan jawaban atas keinginan saya berkunjung ke Banda Neira. Sudah sejak lama saya ingin berpetualang di kepulauan eksotik yang pernah didatangi para selebritis dunia seperti Princess of York, Sarah Ferguson sampai Mick Jagger. Rupanya tidak begitu mudah mengatur perjalanan ke Banda, penerbangan dari Ambon hanya dilakukan seminggu sekali dengan pesawat perintis, sementara jadwal kapal Pelni tidak menentu, bisa setiap sepuluh hari atau dua minggu sekali. Pilihan menggunakan pesawat Merpati dari Ambon juga hampir mustahil, mengingat kapasitas penumpang yang hanya 20 orang dengan beban bagasi terbatas, tak mungkin menerima rombongan kami yang walau berjumlah delapan orang, namun masing masing bisa membawa lebih dari 30 kilogram bagasi.Terutama berisi peralatan menyelam serta perlengkapan kamera video dan photography. Yang melegakan dalam surat itu Des Alwi menyanggupi untuk menyediakan sebuah perahu boat yang akan dicharter untuk membawa kami dari pulau Ambon menuju Banda Neira.. Setelah menempuh penerbangan malam hari dari Jakarta, kami tiba di Ambon pukul 7 pagi dengan perasaan tak sabar untuk bergegas menuju pelabuhan Tuluhatu di teluk Ambon, tempat kapal boat kami bersandar. Memasuki pelabuhan, hati kami semakin berbunga bunga ketika dari kejauhan, terlihat sebuah kapal pesiar besar. Andrias, kawan saya berkata, “ Wah, hebat juga sambutannya, sebuah kapal mewah buat kita “. Ternyata dugaan kami salah, sebuah perahu kayu boat kecil berukuran 2 x 8 meter tepat disebelah kapal pesiar besar itu, yang akan membawa kami menuju ke pulau Banda ! Hati saya agak ciut membayangkan betapa kecilnya benda ini di tengah laut lepas. Apalagi kami akan menyebrangi laut Banda yang terkenal dalam dengan palung palungnya. Namun melihat Nus, Dive guide kami dari Maluku Divers serta wajah kapten dan anak buah kapal yang tak sedikitpun menyiratkan kekuatiran, membuat kami cukup percaya diri. Bagaimanapun juga ‘ the show must go on ‘, apalagi dalam surat penjelasan Des Alwi mengatakan bahwa bulan bulan baik mengunjungi pulau Banda adalah bulan April – May atau September sampai November, dimana cuaca bersahabat dan laut sangat tenang. Di luar bulan bulan tersebut, musim barat membuat laut Banda menjadi sangat berbahaya untuk diarungi dengan kapal kapal kecil, dan tentu saja ini sudah menjadi pertimbangan mereka dalam mengundang kami di bulan April ini. Perlahan kapal dengan 2 mesin tempel yang masing masing berkekuatan 115 PK mulai mengarungi laut lepas. Kapal ini terasa sangat sempit dengan jumlah rombongan kami dan barang barang muatan, termasuk tabung tabung penyelaman yang dibawa dari Ambon. Benar saja, laut sangat flat dan tenang membuat kami tak begitu merasakan guncangan gelombang. Setelah diselingi makan siang, beberapa teman mencoba mengurangi kebosanan dengan membaca atau mendengarkan musik Ipod, sementara saya tak terasa jatuh tertidur. Sering kali saya terbangun dan tertidur kembali, namun kita masih saja berada di lautan lepas tanpa ada tanda tanda untuk sampai di tujuan. Beberapa teman mulai gelisah, dan kami sudah mulai bosan bertanya kepada kapten kapal, berapa lama lagi kita akan tiba. Setelah 7 jam mengarungi laut lepas, terlihat mulai ada burung burung berterbangan, dan itu artinya sudah dekat dengan daratan. Ternyata tak berapa lama terlihat dikejauhan sebuah sosok samar daratan. bersamaan dengan mulai terbenamnya matahari di ufuk barat. Tepat jam 9 malam, setelah mengarungi hampir 9 jam perjalanan, kapal boat kami merapat di dermaga Maulana Hotel, Banda Neira, milik Des Alwi. Hampir seluruh staff hotel menyambut kami di tepi dermaga yang berbatasan langsung dengan serambi hotel. Raymond, putera bungsu Des Alwi dengan ramahnya menyapa dan langsung mengajak kami makan malam yang sudah dipersiapkan untuk rombongan kami. Segala kelelahan akibat lamanya perjalanan tadi seketika sirna dengan situasi akrab yang ditimbulkan oleh Raymond beserta staffnya. Namun kami tak bisa berlama lama karena harus beristirahat serta menyiapkan perlengkapan selam dan photography buat besok. Pukul 6 pagi saya sudah terbangun, dengan suara suara burung di luar. Bergegas saya keluar untuk melihat dengan seksama bangunan hotel ini. Sebuah bangunan lama bertingkat sederhana model spanyol, dengan sebuah pohon kenari raksasa di depan serambi hotel, tepat menghadap laguna teluk Banda dan diseberangnya berdiri kokoh sebuah gunung berapi setinggi 1000 meter, yang disebut Gunung Api. Jarak dari teras hotel menuju tepi dermaga laguna hanya sekitar 6 meter, dan saya melihat air laut sebening kaca memantulkan refleksi violet, biru dan magenta dari langit pagi ini Sementara di bibir puncak gunung , masih tampak terlihat bongkahan batu dan tanah tanah hitam sisa sisa erupsi beberapa tahun lalu. Benar benar sebuah pemandangan yang indah dan fantastis ! Dikemudian hari , Des Alwi menjelaskan bahwa karena posisi letak hotel yang tak ada duanya di dunia, tepat di depan laguna dan gunung berapi, membuat Hotel Maulana pernah dikategorikan sebagai salah satu dari 50 hotel terbaik di dunia. Sesekali melintas nelayan dengan perahu kecilnya sambil melambaikan tangannya kepada saya di tepi dermaga. Begitu damainya disini, dan tiba tiba saya sadar bahwa begitu kayanya alam negeri Indonesia ini. Hotel Maulana terletak di Naira, di pulau Banda kecil yang pernah menjadi incaran pedagang seluruh dunia abad pertengahan. Kilas balik sejarah menjelaskan ketika armada, conquistador Alfonso de Alburqueque dari Portugis menaklukan Malaka tahun 1511 yang menjadi pusat perdagangan rempah rempah dunia. Ia sudah mempersiapkan ekspedisi besar ke Maluku dan Banda Neira, sebagai pusat produsen rempah rempah dunia. Dengan bantuan penunjuk jalan dari Malaka, armada Portugis bisa mencapai Banda Neira pada tahun 1512 – 1514, sampai akhirnya terusir oleh armada VOC. Berjalan jalan di Banda Neira membangkitkan kenangan akan situasi kehidupan kolonial jaman dahulu. Hampir seluruh rumah rumah atau gedung gedung berarsitektur kolonial terawat dengan baik, dan masih dipakai sampai sekarang. Sudut sudut kota, jalanan serta bangunan yang ada tetap merefleksikan kehidupan yang sama ratusan tahun yang lalu. Masjid yang dipakai oleh Bung Hatta dan Sutan Sjahrir di masa pembuangan mereka di pulau ini, masih terus dipakai oleh masyarakat sana. Demikian pula gedung atau rumah peninggalan kolonial yang kini dipakai menjadi kantor, sekolahan serta hotel hotel kecil disekitar Banda Neira. Hari ini kami memulai petualangan penyelaman di salah satu dive spot terbaik di dunia. Kepulauan Banda memang terkenal dengan keindahan hayati alam bawah lautnya serta terumbu karang yang mempesona. Memang, akibat letusan gunung Api telah merusak sebagian sisi terumbu karang Pulau Banda Besar. Namun menurut penilitian dari UNESCO, akibat fenomena ini justru pertumbuhan terumbu karang di tempat ini paling cepat didunia. Jika di tempat lain, terumbu karang bisa membutuhkan waktu puluhan tahun untuk tumbuh dewasa.
Di Pulau Banda Besar hanya membutuhkan waktu tidak sampai sepuluh tahun. Menyelam di kepulauan Banda memang menakjubkan, clear visibility bisa sampai mencapai 40 meter saat itu membuat pemandangan alam bawah laut bisa terlihat dengan jelas. Hampir seluruh area penyelaman di Pulau Banda Besar,Pulau Ai, Pulau Run, Pulau Hatta dan Pulau Sjarir sampai di dermaga Banda Neira memiliki pesona dan keanekaragaman alam bawah laut yang tak mungkin dilihat di tempat lain di dunia. Mata kami benar benar dimanjakan dengan warna warni terumbu karang dan soft coral yang sehat. Belum lagi dengan ikan ikan yang dengan eloknya berkeliling berdekatan tanpa menghiraukan kehadiran kami. Sesekali sekelompok lumba lumba menemani sambil melompat di sisi kapal boat yang membawa kami menuju titik titik penyelaman di kepulauan Banda. Perjalanan antara titik penyelaman yang satu sama lain, tidak terlalu jauh dan dapat ditempuh antara 30 menit sampai 1,5 jam dengan kapal boat. Istirahat makan siang biasanya kami mencari pantai pantai kosong yang tersebar diseluruh kepulauan, untuk menyantap hidangan rantangan yang kami bawa dari Hotel. Sungguh terasa nikmat duduk menikmati makan siang diatas pasir putih yang lembut sambil menghadap air laut yang jernih. Sesekali kami meminta awak kapal untuk mengambil buah kelapa muda dari pohon pohon kelapa yang ada di tepi pantai. Dalam penyelaman di sekitar Pulau Hatta, kami menemukan hutan sea fans ( seperti kipas cemara ) raksasa yang terhampar di kedalaman 20 meter. Sambil menyetel kamera dan terus mengabadikan tempat ini, tak terasa saya terbawa arus ke kedalaman sekitar 30 meter, dan hampir saja saya menabrak sebuah jelly fish atau ubur ubur raksasa. Secara refleks saya memutar badan dan mulai menjepret dengan kamera Nikon D 70 saya yang dibungkus oleh housing, sebelum mata saya menangkap obyek di kejauhan. Ternyata iring iringan ratusan school of jack fish yang biasa disebut ikan kuwe, yang bergerak elok dalam satu rombongan menuju kedalaman. Petualangan kami memang terasa lengkap, karena setelah menyelam kami masih bisa berjalan jalan keliling Banda Neira. Ketika berkunjung ke museum budaya, kita membayangkan betapa pentingnya pulau ini , karena dicari cari oleh seluruh armada laut negara negara Eropa untuk menemukan pusat rempah rempah dunia. Disini kita bisa melihat catatan sejarah yang ada. Barang barang peninggalan VOC, serta yang menarik adalah lukisan lukisan mengenai situasi jaman tersebut. Tepat di tengah ruang utama museum, tergantung sebuah lukisan raksasa yang menceritakan pembantaian 44 orang terpandang dari Banda. Mereka biasa disebut dengan orang kaya, dan pada masa itu mereka ditawan oleh VOC lalu dibawa ke benteng Fort Nassau. Kemudian di depan anak istri serta keluarganya, semua orang terkemuka di Banda tersebut dibantai secara kejam oleh algojo algojo Samurai yang disewa dari Jepang !. Setelah VOC menancapkan kuku monopoli perdagangan, mereka membangun sebuah peradaban baru di Banda Neira yang nantinya akan merupakan blue print pembangunan kota Batavia kelak. Istana Merdeka di Jakarta yang menjadi tempat tinggal Gubernur Jendral Hindia Belanda,mencontoh replika gedung Istana mini yang masih berdiri di Banda Neira. Demikian pula gereja Immanuel di depan stasiun gambir memiliki arsitektur yang sama dengan gereja di sini yang sayangnya telah dirusak oleh massa pengungsi kerusuhan Ambon beberapa waktu yang lalu. Kalau kita memperhatikan sudut sudut kota tua di Jakarta, akan sama juga dengan komposisi sudut bangunan dan jalanan di sana. Saya membayangkan bahwa tempat ini sangat cocok untuk pembuatan syuting syuting film mengenai era kolonial, karena struktur bangunan dan kotanya yang tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang. Kami juga berkunjung ke Benteng VOC, Fort Belgica yang dibangun diatas sebuah bukit, dan bisa ditempuh hanya setengah jam berjalan kaki dari hotel Maulana. Mengagumkan sekali pemilihan letak posisi benteng tersebut, karena dari puncak benteng kita bisa melihat ke arah laut dari segala sisi pulau. Ini memudahkan VOC untuk mengawasi kapal kapal yang keluar masuk Banda pada masa itu. Rumah rumah yang dahulu ditempati Bung Hatta dan Sutan Sjahrir masih terawat dengan baik, berikut dengan barang barang peninggalan mereka. Dari mesin tik yang mereka pakai saat itu, sampai ruangan kelas di belakang rumah, tempat Bung Hatta mengajar terhadap anak anak Banda, yang salah satunya adalah Des Alwi sendiri. Banda Neira memang tak lepas dari sosok Des Alwi, kini berusia 80 tahun, seorang tokoh nasional yang begitu mencintai dan merawat Banda bagaikan anggota keluarganya sendiri. Sosoknya yang dihormati terlihat dari foto fotonya bersama para pemimpin negara, tokoh dunia, negarawan yang terpasang di dinding hotel Maulana. Ketika akhirnya ia datang menyusul kami di sana, ia sangat bersemangat menceritakan semua yang patut diceritakan tentang Banda. Sepanjang malam, setelah makan malam bersama tamu tamu ‘ bule ‘ lainnya, ia menjadi seorang narasumber mengenai sejarah dan budaya Banda. Di sela sela kegiatan kami disana, sesekali terlihat ia menerima wawancara jurnalis TV dari luar negeri. Tak terasa sudah hampir seminggu kami berada di Banda Neira, menjelajah alam bawah airnya yang mempesona, serta menikmati sisa sisa kehidupan masa silamnya yang eksotis. Selama ini kami benar benar terputus dari dunia luar. Handphone tidak berfungsi disini, dan hubungan telpon TELKOM hanya bisa diperoleh di hotel atau wartel dekat pelabuhan. Saya juga sama sekali tidak melihat adanya pesawat TV di hotel Maulana atau mungkin juga dirumah rumah disekitar pulau. Esok pagi kami akan kembali menuju Pulau Ambon, dengan kapal kecil sama yang membawa kami kesini. Des Alwi menjelaskan, angin laut akan bertiup ke arah Ambon, sehingga perjalanan kembali akan lebih cepat 2 – 3 jam dibanding saat datang menuju Banda Neira. Hari terakhir kami menyeberangi pulau menuju perkebunan pala dan kenari. Perjalanan masuk menembus hutan pala sangat mengasyikan, udara segar dan suara burung kakak tua terdengar di kejauhan. Pemandu kami sesekali menunjukan pohon berusia ratusan tahun, yang menjadi saksi sejarah perdagangan rempah rempah. Sore ini kami kembali menyempatkan menyelam di dermaga hotel, yang dipenuhi oleh ikan ikan Mandarin berwarna corak kemerahan. Sementara anak anak Banda Neira tampak riang gembira berenang dan bermain di tepi dermaga, suatu ritual kehidupan yang dialami juga oleh Des Alwi dan teman temannya semasa kecil puluhan tahun yang lalu.. Celoteh riang mereka terus terngiang ngiang kembali ke telinga saya, diatas pesawat terbang yang membawa kami kembali ke Jakarta. Biarlah Banda tetap menjadi apa adanya, sebagaimana mereka masih bisa bertahan selama ratusan tahun.
….Jarak dari teras hotel menuju tepi dermaga laguna hanya sekitar 6 meter, dan saya melihat air laut sebening kaca memantulkan refleksi violet, biru dan magenta dari langit pagi ini Sementara di bibir puncak gunung , masih tampak terlihat bongkahan batu dan tanah tanah hitam sisa sisa erupsi beberapa tahun lalu. Benar benar sebuah pemandangan yang indah dan fantastis ! Dikemudian hari , Des Alwi menjelaskan bahwa karena posisi letak hotel yang tak ada duanya di dunia, tepat di depan laguna dan gunung berapi, membuat Hotel Maulana pernah dikategorikan sebagai salah satu dari 50 hotel terbaik di dunia. Sesekali melintas nelayan dengan perahu kecilnya sambil melambaikan tangannya kepada saya di tepi dermaga. Begitu damainya disini, dan tiba tiba saya sadar bahwa begitu kayanya alam negeri Indonesia ini…” Akhirnya balasan yang saya tunggu tiba juga, sebuah surat beramplop coklat yang dikirim oleh Des Alwi sendiri. Agak geli juga saya menerima surat itu,betapa tidak di jaman modern yang serba praktis dimana orang bisa berkomunikasi melalui facsimile atau internet, ia masih saja menggunakan jasa kantor pos untuk menyampaikan jawaban atas keinginan saya berkunjung ke Banda Neira. Sudah sejak lama saya ingin berpetualang di kepulauan eksotik yang pernah didatangi para selebritis dunia seperti Princess of York, Sarah Ferguson sampai Mick Jagger. Rupanya tidak begitu mudah mengatur perjalanan ke Banda, penerbangan dari Ambon hanya dilakukan seminggu sekali dengan pesawat perintis, sementara jadwal kapal Pelni tidak menentu, bisa setiap sepuluh hari atau dua minggu sekali. Pilihan menggunakan pesawat Merpati dari Ambon juga hampir mustahil, mengingat kapasitas penumpang yang hanya 20 orang dengan beban bagasi terbatas, tak mungkin menerima rombongan kami yang walau berjumlah delapan orang, namun masing masing bisa membawa lebih dari 30 kilogram bagasi.Terutama berisi peralatan menyelam serta perlengkapan kamera video dan photography. Yang melegakan dalam surat itu Des Alwi menyanggupi untuk menyediakan sebuah perahu boat yang akan dicharter untuk membawa kami dari pulau Ambon menuju Banda Neira.. Setelah menempuh penerbangan malam hari dari Jakarta, kami tiba di Ambon pukul 7 pagi dengan perasaan tak sabar untuk bergegas menuju pelabuhan Tuluhatu di teluk Ambon, tempat kapal boat kami bersandar. Memasuki pelabuhan, hati kami semakin berbunga bunga ketika dari kejauhan, terlihat sebuah kapal pesiar besar. Andrias, kawan saya berkata, “ Wah, hebat juga sambutannya, sebuah kapal mewah buat kita “. Ternyata dugaan kami salah, sebuah perahu kayu boat kecil berukuran 2 x 8 meter tepat disebelah kapal pesiar besar itu, yang akan membawa kami menuju ke pulau Banda ! Hati saya agak ciut membayangkan betapa kecilnya benda ini di tengah laut lepas. Apalagi kami akan menyebrangi laut Banda yang terkenal dalam dengan palung palungnya. Namun melihat Nus, Dive guide kami dari Maluku Divers serta wajah kapten dan anak buah kapal yang tak sedikitpun menyiratkan kekuatiran, membuat kami cukup percaya diri. Bagaimanapun juga ‘ the show must go on ‘, apalagi dalam surat penjelasan Des Alwi mengatakan bahwa bulan bulan baik mengunjungi pulau Banda adalah bulan April – May atau September sampai November, dimana cuaca bersahabat dan laut sangat tenang. Di luar bulan bulan tersebut, musim barat membuat laut Banda menjadi sangat berbahaya untuk diarungi dengan kapal kapal kecil, dan tentu saja ini sudah menjadi pertimbangan mereka dalam mengundang kami di bulan April ini. Perlahan kapal dengan 2 mesin tempel yang masing masing berkekuatan 115 PK mulai mengarungi laut lepas. Kapal ini terasa sangat sempit dengan jumlah rombongan kami dan barang barang muatan, termasuk tabung tabung penyelaman yang dibawa dari Ambon. Benar saja, laut sangat flat dan tenang membuat kami tak begitu merasakan guncangan gelombang. Setelah diselingi makan siang, beberapa teman mencoba mengurangi kebosanan dengan membaca atau mendengarkan musik Ipod, sementara saya tak terasa jatuh tertidur. Sering kali saya terbangun dan tertidur kembali, namun kita masih saja berada di lautan lepas tanpa ada tanda tanda untuk sampai di tujuan. Beberapa teman mulai gelisah, dan kami sudah mulai bosan bertanya kepada kapten kapal, berapa lama lagi kita akan tiba. Setelah 7 jam mengarungi laut lepas, terlihat mulai ada burung burung berterbangan, dan itu artinya sudah dekat dengan daratan. Ternyata tak berapa lama terlihat dikejauhan sebuah sosok samar daratan. bersamaan dengan mulai terbenamnya matahari di ufuk barat. Tepat jam 9 malam, setelah mengarungi hampir 9 jam perjalanan, kapal boat kami merapat di dermaga Maulana Hotel, Banda Neira, milik Des Alwi. Hampir seluruh staff hotel menyambut kami di tepi dermaga yang berbatasan langsung dengan serambi hotel. Raymond, putera bungsu Des Alwi dengan ramahnya menyapa dan langsung mengajak kami makan malam yang sudah dipersiapkan untuk rombongan kami. Segala kelelahan akibat lamanya perjalanan tadi seketika sirna dengan situasi akrab yang ditimbulkan oleh Raymond beserta staffnya. Namun kami tak bisa berlama lama karena harus beristirahat serta menyiapkan perlengkapan selam dan photography buat besok. Pukul 6 pagi saya sudah terbangun, dengan suara suara burung di luar. Bergegas saya keluar untuk melihat dengan seksama bangunan hotel ini. Sebuah bangunan lama bertingkat sederhana model spanyol, dengan sebuah pohon kenari raksasa di depan serambi hotel, tepat menghadap laguna teluk Banda dan diseberangnya berdiri kokoh sebuah gunung berapi setinggi 1000 meter, yang disebut Gunung Api. Jarak dari teras hotel menuju tepi dermaga laguna hanya sekitar 6 meter, dan saya melihat air laut sebening kaca memantulkan refleksi violet, biru dan magenta dari langit pagi ini Sementara di bibir puncak gunung , masih tampak terlihat bongkahan batu dan tanah tanah hitam sisa sisa erupsi beberapa tahun lalu. Benar benar sebuah pemandangan yang indah dan fantastis ! Dikemudian hari , Des Alwi menjelaskan bahwa karena posisi letak hotel yang tak ada duanya di dunia, tepat di depan laguna dan gunung berapi, membuat Hotel Maulana pernah dikategorikan sebagai salah satu dari 50 hotel terbaik di dunia. Sesekali melintas nelayan dengan perahu kecilnya sambil melambaikan tangannya kepada saya di tepi dermaga. Begitu damainya disini, dan tiba tiba saya sadar bahwa begitu kayanya alam negeri Indonesia ini. Hotel Maulana terletak di Naira, di pulau Banda kecil yang pernah menjadi incaran pedagang seluruh dunia abad pertengahan. Kilas balik sejarah menjelaskan ketika armada, conquistador Alfonso de Alburqueque dari Portugis menaklukan Malaka tahun 1511 yang menjadi pusat perdagangan rempah rempah dunia. Ia sudah mempersiapkan ekspedisi besar ke Maluku dan Banda Neira, sebagai pusat produsen rempah rempah dunia. Dengan bantuan penunjuk jalan dari Malaka, armada Portugis bisa mencapai Banda Neira pada tahun 1512 – 1514, sampai akhirnya terusir oleh armada VOC. Berjalan jalan di Banda Neira membangkitkan kenangan akan situasi kehidupan kolonial jaman dahulu. Hampir seluruh rumah rumah atau gedung gedung berarsitektur kolonial terawat dengan baik, dan masih dipakai sampai sekarang. Sudut sudut kota, jalanan serta bangunan yang ada tetap merefleksikan kehidupan yang sama ratusan tahun yang lalu. Masjid yang dipakai oleh Bung Hatta dan Sutan Sjahrir di masa pembuangan mereka di pulau ini, masih terus dipakai oleh masyarakat sana. Demikian pula gedung atau rumah peninggalan kolonial yang kini dipakai menjadi kantor, sekolahan serta hotel hotel kecil disekitar Banda Neira. Hari ini kami memulai petualangan penyelaman di salah satu dive spot terbaik di dunia. Kepulauan Banda memang terkenal dengan keindahan hayati alam bawah lautnya serta terumbu karang yang mempesona. Memang, akibat letusan gunung Api telah merusak sebagian sisi terumbu karang Pulau Banda Besar. Namun menurut penilitian dari UNESCO, akibat fenomena ini justru pertumbuhan terumbu karang di tempat ini paling cepat didunia. Jika di tempat lain, terumbu karang bisa membutuhkan waktu puluhan tahun untuk tumbuh dewasa.
Di Pulau Banda Besar hanya membutuhkan waktu tidak sampai sepuluh tahun. Menyelam di kepulauan Banda memang menakjubkan, clear visibility bisa sampai mencapai 40 meter saat itu membuat pemandangan alam bawah laut bisa terlihat dengan jelas. Hampir seluruh area penyelaman di Pulau Banda Besar,Pulau Ai, Pulau Run, Pulau Hatta dan Pulau Sjarir sampai di dermaga Banda Neira memiliki pesona dan keanekaragaman alam bawah laut yang tak mungkin dilihat di tempat lain di dunia. Mata kami benar benar dimanjakan dengan warna warni terumbu karang dan soft coral yang sehat. Belum lagi dengan ikan ikan yang dengan eloknya berkeliling berdekatan tanpa menghiraukan kehadiran kami. Sesekali sekelompok lumba lumba menemani sambil melompat di sisi kapal boat yang membawa kami menuju titik titik penyelaman di kepulauan Banda. Perjalanan antara titik penyelaman yang satu sama lain, tidak terlalu jauh dan dapat ditempuh antara 30 menit sampai 1,5 jam dengan kapal boat. Istirahat makan siang biasanya kami mencari pantai pantai kosong yang tersebar diseluruh kepulauan, untuk menyantap hidangan rantangan yang kami bawa dari Hotel. Sungguh terasa nikmat duduk menikmati makan siang diatas pasir putih yang lembut sambil menghadap air laut yang jernih. Sesekali kami meminta awak kapal untuk mengambil buah kelapa muda dari pohon pohon kelapa yang ada di tepi pantai. Dalam penyelaman di sekitar Pulau Hatta, kami menemukan hutan sea fans ( seperti kipas cemara ) raksasa yang terhampar di kedalaman 20 meter. Sambil menyetel kamera dan terus mengabadikan tempat ini, tak terasa saya terbawa arus ke kedalaman sekitar 30 meter, dan hampir saja saya menabrak sebuah jelly fish atau ubur ubur raksasa. Secara refleks saya memutar badan dan mulai menjepret dengan kamera Nikon D 70 saya yang dibungkus oleh housing, sebelum mata saya menangkap obyek di kejauhan. Ternyata iring iringan ratusan school of jack fish yang biasa disebut ikan kuwe, yang bergerak elok dalam satu rombongan menuju kedalaman. Petualangan kami memang terasa lengkap, karena setelah menyelam kami masih bisa berjalan jalan keliling Banda Neira. Ketika berkunjung ke museum budaya, kita membayangkan betapa pentingnya pulau ini , karena dicari cari oleh seluruh armada laut negara negara Eropa untuk menemukan pusat rempah rempah dunia. Disini kita bisa melihat catatan sejarah yang ada. Barang barang peninggalan VOC, serta yang menarik adalah lukisan lukisan mengenai situasi jaman tersebut. Tepat di tengah ruang utama museum, tergantung sebuah lukisan raksasa yang menceritakan pembantaian 44 orang terpandang dari Banda. Mereka biasa disebut dengan orang kaya, dan pada masa itu mereka ditawan oleh VOC lalu dibawa ke benteng Fort Nassau. Kemudian di depan anak istri serta keluarganya, semua orang terkemuka di Banda tersebut dibantai secara kejam oleh algojo algojo Samurai yang disewa dari Jepang !. Setelah VOC menancapkan kuku monopoli perdagangan, mereka membangun sebuah peradaban baru di Banda Neira yang nantinya akan merupakan blue print pembangunan kota Batavia kelak. Istana Merdeka di Jakarta yang menjadi tempat tinggal Gubernur Jendral Hindia Belanda,mencontoh replika gedung Istana mini yang masih berdiri di Banda Neira. Demikian pula gereja Immanuel di depan stasiun gambir memiliki arsitektur yang sama dengan gereja di sini yang sayangnya telah dirusak oleh massa pengungsi kerusuhan Ambon beberapa waktu yang lalu. Kalau kita memperhatikan sudut sudut kota tua di Jakarta, akan sama juga dengan komposisi sudut bangunan dan jalanan di sana. Saya membayangkan bahwa tempat ini sangat cocok untuk pembuatan syuting syuting film mengenai era kolonial, karena struktur bangunan dan kotanya yang tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang. Kami juga berkunjung ke Benteng VOC, Fort Belgica yang dibangun diatas sebuah bukit, dan bisa ditempuh hanya setengah jam berjalan kaki dari hotel Maulana. Mengagumkan sekali pemilihan letak posisi benteng tersebut, karena dari puncak benteng kita bisa melihat ke arah laut dari segala sisi pulau. Ini memudahkan VOC untuk mengawasi kapal kapal yang keluar masuk Banda pada masa itu. Rumah rumah yang dahulu ditempati Bung Hatta dan Sutan Sjahrir masih terawat dengan baik, berikut dengan barang barang peninggalan mereka. Dari mesin tik yang mereka pakai saat itu, sampai ruangan kelas di belakang rumah, tempat Bung Hatta mengajar terhadap anak anak Banda, yang salah satunya adalah Des Alwi sendiri. Banda Neira memang tak lepas dari sosok Des Alwi, kini berusia 80 tahun, seorang tokoh nasional yang begitu mencintai dan merawat Banda bagaikan anggota keluarganya sendiri. Sosoknya yang dihormati terlihat dari foto fotonya bersama para pemimpin negara, tokoh dunia, negarawan yang terpasang di dinding hotel Maulana. Ketika akhirnya ia datang menyusul kami di sana, ia sangat bersemangat menceritakan semua yang patut diceritakan tentang Banda. Sepanjang malam, setelah makan malam bersama tamu tamu ‘ bule ‘ lainnya, ia menjadi seorang narasumber mengenai sejarah dan budaya Banda. Di sela sela kegiatan kami disana, sesekali terlihat ia menerima wawancara jurnalis TV dari luar negeri. Tak terasa sudah hampir seminggu kami berada di Banda Neira, menjelajah alam bawah airnya yang mempesona, serta menikmati sisa sisa kehidupan masa silamnya yang eksotis. Selama ini kami benar benar terputus dari dunia luar. Handphone tidak berfungsi disini, dan hubungan telpon TELKOM hanya bisa diperoleh di hotel atau wartel dekat pelabuhan. Saya juga sama sekali tidak melihat adanya pesawat TV di hotel Maulana atau mungkin juga dirumah rumah disekitar pulau. Esok pagi kami akan kembali menuju Pulau Ambon, dengan kapal kecil sama yang membawa kami kesini. Des Alwi menjelaskan, angin laut akan bertiup ke arah Ambon, sehingga perjalanan kembali akan lebih cepat 2 – 3 jam dibanding saat datang menuju Banda Neira. Hari terakhir kami menyeberangi pulau menuju perkebunan pala dan kenari. Perjalanan masuk menembus hutan pala sangat mengasyikan, udara segar dan suara burung kakak tua terdengar di kejauhan. Pemandu kami sesekali menunjukan pohon berusia ratusan tahun, yang menjadi saksi sejarah perdagangan rempah rempah. Sore ini kami kembali menyempatkan menyelam di dermaga hotel, yang dipenuhi oleh ikan ikan Mandarin berwarna corak kemerahan. Sementara anak anak Banda Neira tampak riang gembira berenang dan bermain di tepi dermaga, suatu ritual kehidupan yang dialami juga oleh Des Alwi dan teman temannya semasa kecil puluhan tahun yang lalu.. Celoteh riang mereka terus terngiang ngiang kembali ke telinga saya, diatas pesawat terbang yang membawa kami kembali ke Jakarta. Biarlah Banda tetap menjadi apa adanya, sebagaimana mereka masih bisa bertahan selama ratusan tahun.
0 komentar:
Post a Comment
Tanggapannya Gan..?