widgets
Untuk lebih Detil Klik >> Penawaran Produk dan Jasa

Buah Penderitaan Sumber Kemakmuran dari Banda Naira


BANDA NEIRA – Rasanya manis-asam-pedas dan setelah mengunyahnya bau harum tertinggal di mulut. Itulah buah pala yang aslinya hanya tumbuh di Kepulauan Banda Neira. Buah yang telah membuat penduduknya menderita pada abad penjajahan dulu. Ribuan orang Banda Neira yang tidak kooperatif dihabisi oleh penjajah pada abad ke-17 dan yang selamat kabur ke Kepulauan Tanimbar.Orang Barat baru mengenal pala pada abad ke-11. Buah ini dibawa ke Eropa oleh pedagang Arab. Awalnya digunakan untuk menambah rasa pada bir. Kemudian digunakan sebagai penyedap pada kueh, dan biskuit serta buah campur. Kadang kala digunakan juga untuk campuran pada kuah keju (fondue) dan juga saus masakan seperti Bechamel (saus putih – white sauce). Bayam dan pala merupakan campuran panganan yang klasik, khususnya pada mi italia seperti ravioli. Sekarang ini yang masih banyak menggunakan pala untuk campuran sayuran, kentang dan kol serta pula masakan daging, sup dan saus adalah orang Belanda.Pala sendiri sudah kehilangan popularitasnya. Buah ini masih digemari pada masakan Timur Tengah dan India. Buah ini masih digunakan pada masakan daging di negara-negara Arab, Iran, utara India. Masakan asal India seperti masala mengandung pala, demikian pula ras el hanout dari Moroko, dan dari Tunisia seperti galat dagga, serta di Arab dengan baharat-nya. Ini semua masih memakai buah pala.Pala yang sekarang digunakan di Eropa tidak lagi berasal dari Banda Neira. Sekarang sudah ada Grenada yang mengekspor pala. Bahkan pala merupakan ekspor utama mereka, sehingga pada bendera negara Grenada terdapat gambar buah pala. Dan masakan kepulauan di Laut Karibia itu pun menggunakan pala, sampai-sampai ada es krim rasa pala.Ada saus klasik Prancis dari era Barok menggunakan campuran yang disebut quatre epices (empat rempah). Di dalamnya ada pala yang dicampur dengan lada putih (kadang kala menggunakan lada hitam), cengkeh dan jahe. Semua bahan ditumbuk halus menjadi bubuk yang digunakan untuk memberikan cita rasa pada daging. Khususnya daging yang akan dimasak dalam waktu lama, seperti pada ragu (ragout), sosis dan kue roti isi daging. Perkara makan inilah yang menjadikan orang Belanda berusaha menguasai Banda Neira. Ketika para pribumi Banda Neira menolak kerja sama dengan Belanda, gubernur kolonial Jan Pieterszoon Coen memerintahkan pembantaian penduduk Banda Neira. Dari sekitar 15 ribu warga di sana tinggal ratusan saja yang masih hidup. Ini pada tahun 1621 dan yang selamat pindah ke Kepulauan Tanimbar di selatan. Banda Neira sendiri kemudian diisi para pedagang Arab dan pekerja Cina.Dominasi Belanda atas perdagangan pala berakhir pada abad ke-18. Prancis berhasil menyelundupkan pala dari Banda Neira. Tetapi korban sudah berjatuhan. “Ini parigi rantai,” tunjuk Des Alwi pada monumen berupa sumur. Ternyata sebelum Lubang Buaya, membuang mayat ke dalam sumur sudah didahului Belanda. Menurut Des Alwi yang menuliskan buku Sejarah Maluku itu, lebih 44 orang dibantai di lapangan itu. “Juga para Orang Kaya, ditimbun di sini,” lanjut Des Alwi.Pada pembantaian itu para petinggi, pejabat, dan bangsawan Banda Neira yang disebut Orang Kaya itu dihabisi. Dan di sana tentara hanya dibolehkan lima orang saja. Empat biasa, dan satu mewakili para Orang Kaya.Sekarang ini para tentara dan Orang Kaya itu masih tersisa pada tarian Cakalele. Ini tarian penyambutan sekaligus tarian perang yang biasa dipertunjukkan jika ada tamu ataupun wisatawan. Empat orang berpakaian lengkap, dengan menenteng senjata akan menari berputar-putar sambil mengacungkan senjatanya. Seorang dari penarinya mengenakan pakaian berbeda, bajunya hijau, dialah yang mewakili Orang Kaya.Orang Kaya ini juga dicatat oleh Tome Pires (1512) yang menjelaskan bahwa “sudah 30 tahun perubahaan orang Banda menjadi Moors (muslim – menurut istilah Portugis).” Di Banda berbeda dengan Ternate dan Tidore, di mana kesultanan mapan. Di Banda tidak ada satu pimpinan tunggal, melainkan terdiri dari dewan para Orang Kaya. Tanpa adanya pimpinan tunggal, berbagai pendekatan dilakukan pihak luar untuk mendapatkan komoditas yang mereka inginkan itu. Prakolonial, orang dari tanah Jawa berusaha masuk dengan menjadi penduduk semipermanen di sana dan menikah dengan pribumi Banda. Eropa yang memisahkan diri melakukan perjanjian-perjanjian terpisah dengan berbagai kampung di sana. Tidak adanya sentralisasi kekuasaan itu yang membuat Portugis gagal menancapkan kekuatan militer mereka di sana. Ini juga yang menghambat para pedagang Belanda untuk memonopoli rempah Banda. Mereka, para pedagang itu yang diduga oleh para peneliti seperti Hanna (1978) dan Loth (1995) merekayasa agar VOC membantai orang Banda. Sehabis pembantaian itu timbulah “perk”, pembagian tanah perkebunan yang diberikan pada mantan pekerja Kompeni (VOC- Veerenigde Oost- Indische Compagnie). Seluruh Banda menjadi 37 kavling yang luasnya antara 12 hingga 30 hektare. Sejak itu secara budaya maupun ekologi Kepulauan Banda berubah. Walau perkara budaya tentunya masih ada yang tersisa, yah seperti tarian Cakalele tadi itu.
banda-naira.blogspot.com posted by Saiful Karmen

3 komentar:

joe embin said...

Allow brooo... Su tau ada gang hallo di banda ka trada? kol siang-siang makang pala deng bakasang di gang hallo enak lai....

Anonymous said...

masa sih.. itu kan punya kompeni VoC belanda ...heee..

Anonymous said...

banda naira,sepotong surga yang tersisa di sudut dunia........

Post a Comment

Tanggapannya Gan..?